Langsung ke konten utama

Postingan

Unggulan

Air Asi Terakhir Ibu

Di kebun belakang rumahku ibu, mawar merah tak pernah tumbuh subur. Katanya, ia tak sudi memeriahkan malam-malamku dengan merah darahnya. Biarkan saja. Biar malamku selalu kelabu. Di dalam rumahku ibu, tungku api tak pernah mau menyala, dasarnya selalu saja basah oleh air mata. Karena pada nyatanya kehangatan hanya untuk manusia-manusia beribu. Lalu ibu, lekas ceritakan kepadaku. Bagaimana segumpal daging ini dapat hidup dengan beralasakan kesunyian, yang kini di seperempat abadnya sudah ia diasuh oleh kesendirian. Yang ketika itu tepat angka 40 hari tubuhku menari layu, kau yang cantik malam itu sibuk mematut diri dalam pecahan cermin, merias melukis sendu pada wajah anggunmu. Aku baca ulang kembali kedua matamu, tapi aku tak bisa mengartikan bahasa ibu. Itu dia yang kau tunggu bukan? Lelaki hitam berbaju nafsu yang datang menawarkan penghidupan pada minuman yang ia genggam dalam tangan kirinya. Dan kau ibu, lantas pergi bersama sepasang payudaramu menuju malam yang lebih candu. Kini

Postingan Terbaru

Jalan Pintas Menuju Kematian

Berita Duka

AKU

Terbuang

Batas

Senyawa Sunyi

Akara Murka

Bejana Rencana

Menggelitik Hujan

Haru dan Harsa