Ayunan (tak bertuan)



Aku hanyalah untaian tali yang menompang kayu dibawahku. Ada langit sebagai atapnya, pasir putih sabagai alasnya, lautan nan luas sebagai kawannya, serta angin yang mendorongku dikala aku sendiri. Tak lupa ingin aku ucapkan terimakasih kepada sang pohon yang tak bernama telah menemaniku selama 20 tahun ini. Aku adalah saksi bagi manusia-manusia yang datang dan pergi seenaknya. Manusia-manusia yang tersenyum dengan hati busuk, manusia-manusia yang tertawa dengan lepas dan ikhlas, manusia-manusia yang dimatanya menyimpan kepedihan yang amat dalam. Rasanya semua jenis manusia telah singgah disini.
Bukan mau aku melihat itu semua. Sungguh menyebalkan melihat manusia-manusia itu datang dengan pasangannya, mendorong diriku, merayu dan manggoda di atasku dan tak jarang mereka dengan seenaknya membuang sampah di pasir putihku. Aku tahu pasti senyuman itu palsu, sangat jelas mata mereka menggambarkan nafsunya. Oh ini rupanya yang disebut dengan manusia dimabuk asmara.
Ketika malam datang, langit tetap menemaniku walaupun dengan wujud yang berbeda, aku tak mengerti mengapa si langit berubah menjadi hitam, dan juga laut pun lebih sering menyapaku dikala malam mungkin dia sama kesepiannya seperti aku.
Hari ini sepi, tidak seperti biasanya. Oh iya aku baru ingat jika hari ini adalah hari senin. Hari pertama bagi manusia-manusia itu memulai segala aktifitasnya kembali. Dari yang aku dengar para manusia-manusia itu pergi ke tempat yang bermana kantor, ada juga yang pergi ke sekolah dan kampus. Ah apalah daya aku yang tidak mengerti segala istilah itu, yang aku tahu hanyalah pantai.
Jika keadaan sepi seperti ini aku jadi teringat 20 tahun silam lelaki tua itu telah menghadirkan aku ditempat ini, jika aku tidak salah menebak mungkin usianya sekitar 70 tahun. Lelaki tua itu membawa seuntai tali dan bongkahan kayu dari arah perkampungan sebelah timur sana. Dengan raut wajah yang sangat tak bersahabat, lelaki tua itu berjalan dengan gontai kearah pohon yang tak bernama itu. Dengan pelan tapi pasti lelaki tua itu mengaitkan tali tersebut dilehernya. Sambil mendongkakkan kepalanya keatas pohon, lelaki tua tersebut mulai menaiki pohon yang tak bernama itu. Tak ada sepatah katapun yang ia keluarkan dari mulutnya. Lelaki tua tersebut sibuk mencari dahan pohon yang ia inginkan.
Dari kejauhan 2 orang lelaki yang tak diketahui namanya meninggalkan kapal ikannya berlari kearah pohon tak bernama itu ketika melihat ada seorang lelaki tua sibuk mengaitkan tali dari atas pohon. “Mang aib istigfar mang nyebut mang nyebut.” kata lelaki berikat kepala batik itu sesampainya dibawah pohon tak bernama. “iya mang aib, jangan kaya gini caranya mang, dosa mang bunuh diri itu.” kata lelaki botak pelontos itu membenarkan. “Oh namanya mang aib.” kata aku dalam hati.
sementara lelaki tua yang di panggil mang aib tersebut hanya melirik kedua lelaki itu melalui ujung matanya saja. Dengan tetap diam lelaki tua itu menuruhi pohon tak bernama itu. Kedua lelaki itu terdiam terpaku memperhatikkan gerak demi gerak yang dilakukan oleh lelaki tua tersebut. Berharap mereka bisa mencegah aksi bunuh diri si lelaki tua. Dengan tatapan sedingin es lelaki tua itu terus melakukan aktifitasnya. Hingga tak lama kemudian aku muncul dengan nyata, wujudku ada. Lelaki tua itu mendesah dan berkata dengan amat sangat pelan, mungkin hanya semut yang bisa mendengarnya. “Cantiknya ayunanku.” Setelah tersadar si lelaki tua itu tidak sedang ingin bunuh diri, kedua lelaki tersebut meninggalkan lelaki tua itu seorang diri.
Dengan hati-hati lelaki tua itu menaiki ayunannya, duduk perlahan bersamaan dengan tatapan yang kosong kearah tumpahan air yang biru, menikmati ombak yang saling berkejaran seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, mereka saling mencumbu. Dan ia bergelut dengan pikirannya sendiri.
Setiap sore menjelang malam si lelaki tua menghampiriku, masih sama seperti biasanya dia datang bukan untuk menyapaku. Dia datang seolah-olah menghadiri undangan sang senja. Aku tak tahu aoa yang ada di pikiran si lelaki tua itu, yang aku rasakan dia menyimpan kenangan buruk. Mungkin dia berharap sang angin akan membawa semua masa kelamnya.
Kini aku merasa kesepian. Walau sang angin kerap datang menggodaku, mendorong tubuhku dengan lembut tapi rasanya tetap hampa. Ternyata aku merindukan lelaki tua itu. Menunggunya datang untuk membuatku hidup kembali sungguh melelahkan. Hingga akhirnya aku sadari, lelaki tua yang aku tunggu tak bisa hadir untuk selamanya. Ia hanya menyisakan secarik foto perempuan yang telah lusuh. Dan aku bisa langsung menebak bahwa perempuan itu adalah istrinya.
“Ayah ada ayunan..” teriak manusia kecil dengan senyum lebar diwajahnya berlari menghampiriku. “Hah, sialan bikin kaget saja.” aku mengumpat dalam hati sambil melirik kearah suara cempreng tersebut, ternyata manusia kecil itu tidak sendirian. “Hati-hati nak nanti kamu terjatuh.” kata si manusia berkumis itu dengan suara yang lebih besar. Entah bagaimana caranya si manusia kecil itu sudah ada diatas tubuhku. Aku bisa merasakan energi positif yang dibawa si manusia kecil ini. “Wah ayah enak ya disini pemandangannya indah, lautnya berkilauan. Andai ibu masih ada aku akan ajak ibu ke tempat ini. Ibu pasti senang.” Sang manusia berkumis hanya tersenyum sambil mendorong tubuhku ia berkata “Ibu sedang istirahat di surga, Alfi sayang sama ibu kan? Alfi berdoa agar nanti bisa kumpul bersama dengan ibu di surga Allah nanti.” “Pasti dong ayah. aku pasti doain ibu. Aku kan sayang ibu.” kata si manusia kecil itu tetap dengan senyum lebarnya memandang lurus kearah lautan.
Lagi-lagi aku menjadi saksi bagi manusia-manusia ini. Tapi kali ini berbeda, manusia-manusia ini berbeda dengan manusia-manusia yang datang sebelumnya. Aku sungguh tidak melihat nafsu dimatanya, aku hanya melihat ketegaran di matanya, tidak ada senyum penghinaan, yang ada semua kata yang keluar dari mulutnya adalah tulus, tidak ada tangan-tangan nakal yang biasa aku lihat, juga rayuan-rayuan menjiikan yang biasa aku dengar.
Ketika sepi datang ia menyadarkanku. Bahwa aku tidak sekuat dulu, aku tidak sekokoh 20 tahun silam. Kini manusia-manusia itu tidak memperulikanku. Tergantung, bergoyang bertiup sang angin, ombak menyapa hanya sekedarnya, pohon tak bernama pun lebih banyak terdiam, hanya bisa menikmati siulan burung yang memanggil pasangannya. Tanpa arah, tanpa tujuan, sebelum kamu datang menemani, bermain bersama menikmati langit yang tampak malu-malu menampakkan wujud cantiknya. Hai ayunan manis, selamat datang.

Komentar

Postingan Populer